Kehandalan sosok Gina S. Noer dalam meramu konflik-konflik sosial domestik yang dekat dengan kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial sudah ia buktikan berkali-kali dalam karya filmnya sejak debutnya menyutradarai Dua Garis Biru berlanjut ke series Saiyo Sakato, film Cinta Pertama, Kedua & Ketiga serta yang paling kontroversial, Like & Share.
Kini berduet dengan sutradara wanita hebat lainnya, Dinna Jasanti (Laura & Marsha), Gina melanjutkan kisah keluarga muda Bima dan Dara dalam Dua Hati Biru yang akan tayang di bioskop mulai hari ini 17 April 2024.
Sinopsis
Empat tahun berlalu sejak Dara memilih kuliah untuk di Korea Selatan, kini setelah lulus, Dara kembali pulang ke pelukan Bima dan ‘benar-benar’ memulai kehidupan keluarga dengan Adam, putra mereka yang kini berusia 4 tahun. Peran dan turut campur orang tua Bima jadi satu aral melintang selain ego, kerapuhan dan rasa tidak percaya diri yang dialami Bima karena berada di dalam tekanan sebagai kepala keluarga yang harus membahagiakan.
Dara mengerti itu, ia membantu Bima, menjauhkan segala kemungkinan harga diri Bima terluka saat menerima kenyataan Dara lah yang harus bekerja dengan gelar sarjana yang memungkinkannya menerima gaji lebih besar dari Bima. Semua berjalan sesuai rencana sampai pada saat lingkungan sekitar, ego masing-masing, kekhawatiran akan masa depan menjadi konflik yang meruncing, mengancam kebersamaan keluarga Bima, Dara & Adam.
Review
Tak perlu waktu lama dan tak perlu mengingat-ingat film pertamanya, dalam 5 menit awal Dua Hati Biru, kami sudah langsung terbius masuk ke dalam dunia yang diciptakan Gina S. Noer & Dinna Jasanti. Lewat perkenalan pada sosok Adam yang menggemaskan, kesehariannya bersama sang Baba, panggilan untuk Ayah, serta kakek neneknya serta interaksi dengan Dara yang masih di Korea hanya lewat video call dengan mudahnya mengajak masuk penonton ke dalam universenya.
Dunia di Dua Hati Biru bisa dibilang juga sebagai dunianya Adam, anak balita yang menyukai ikan dan berbagai bentuk mainannya, bertingkah polah lucu, suka berceletuk polos dan lucu. Dunia Adam adalah Jakarta yang digambarkan sebagai kota urban dengan gang-gang kecil, di tepi kali, dengan kepingan budaya mondar-mandir berbentuk ondel-ondel.
Kini setelah 4 tahun pertama hidup Adam bersama Baba dan kakek neneknya, Adam bersua dengan sang ibu. Dara kembali setelah lulus kuliah. Konflik dalam film mulai berkembang ke penerimaan Adam pada sosok Dara sebagai ibunya. Usaha Dara mendekati Adam pun digambarkan dengan baik lewat akting bagus Farrell Rafisqy sebagai Adam serta Aisha Nurra Datau yang menggantikan Adhisty Zara sebagai Dara.
Dua pemain ini mencuri perhatian berkat konflik yang diembankan pada keduanya. Namun sosok Angga Yunanda tidak bisa dipandang sebelah mata. Konsistensi penampilannya sejak film pertama layak diacungi jempol. Grafik emosi Bima didelivery dengan mulus oleh Angga lewat kemampuannya membaca intensitas emosi karakternya dalam sekuens adegan. Bima banyak memendam emosi saat berhadapan dengan Dara, Ibunya dan bos tempatnya bekerja, dan saat meledak sosok Bima yang ‘trying too hard’ untuk terlihat dewasa dan mempertahankan gelar kepala keluarga telihat organik rapuhnya. Penonton masih diberi ruang untuk menganggap sosok Bima itu belum dewasa sebagai seorang ayah, sehingga perasaan Bima yang merasa kerap diremehkan jadi valid dan believable.
Nurra Datau sendiri sukses menjadi sosok istri yang lebih dewasa dan matang berkat bangku kuliah yang ia jalani. Ia menerima dengan baik dan mengerti kondisi Bima yang harus bekerja di wahana mandi bola demi memenuhi kehidupan keluarga. Meskipun ujungnya ego masing-masing, tuntutan Dara agar Bima menaikkan value dirinya dengan bekerja di tempat yang lebih layak, berkuliah atau kursus, yang membuat Bima insecure, merasa rendah diri dan tidak mampu.
Ditambah lagi konsep ilmu dan terapan parenting yang berbeda, mengakomodasi keinginan orang tua, kondisi rumah tangga orang tua Dara yang kacau, membuat Dua Hati Biru terasa padat konflik namun karena semuanya relate dan relevan, membuat filmnya mengalir dengan baik dan lugas. Selipan momen komedi lewat karakter Iqy (Keanu Angelo) pun menambah warna film lebih ceria.
Dari sisi teknis, ada treatment yang membuat film terasa lebih ceria di tengah rentetan konflik yang sesekali membuat menangis. Warna-warni yang dibawa sejak film pertama dipertahankan, akan tetapi entah kenapa di Dua Hati Biru terasa lebih optimis dalam pewarnaannya. Palet warna cerah nyaris ada di semua adegan outdoor, namun saat di dalam rumah warna-warna pastel suram mendominasi. Seakan menyiratkan keluarga Bima dan keluarga orang tua Dara tengah dalam kondisi tidak baik.
Di luar desain produksi, kameramen dan tim tata busana jadi sorotan penting karena pemilihan gambar dan kostum yang digunakan sangat menggambarkan keluarga muda yang menjadi basic film ini. Treatment saat adegan live jualan online pun sangat menarik, sederhana tapi seakan menjadi panggung bagi para aktornya (terutama Keanu) untuk berimprovisasi.
Catatan paling penting adalah buat tim penulis dan make up yang memaksa karakter Bima terlihat kusam. Karakter Bima sudah lebih tua 4 tahun dari film pertama, ia juga sering videocall dengan sang istri. Harusnya Bima sudah bisa merawat kulitnya, terutama wajah, menurut hemat saya tidak perlu untuk dikusam-kusamkan lagi.
Summary
Dua Hati Biru akan menjadi oase film Indonesia paska lebaran dengan menghadirkan drama komedi berlatar keluarga yang hangat, haru, kocak sekaligus memberikan gambaran relevan akan kehidupan yang dihadapi oleh keluarga muda di era modern saat ini.
Siapkan tisu untuk berbagai adegan haru, serta kendorkan engsel rahang untuk tertawa melihat tingkah Farell dan Keanu dalam film ini. Kocak banget! So tunggu apa lagi segera checkout sekarang! Nonton Dua Hati Biru yang tayang mulai hari ini di bioskop.
