Setiap keluarga memiliki titik rapuh dan titik tersebut umumnya ada pada warisan. Jika suatu keluarga mampu melalui titik ini dengan kebersamaan, maka ia semakin kuat. Tapi banyak diantara mereka yang malah membuat jembatan diskusi yang dilalui semakin keropos dan membuat kekuatan keluarga itu ambruk. Lalu anggotanya mencari jalan nyaman masing-masing dengan sebanyak mungkin warisan yang mereka dapat. Film “Gara-Gara Warisan” – film panjang pertama arahan Muhadkly Acho – bercerita di area ini, sebuah keluarga yang bisa saja semakin kuat setelah melaluinya atau semakin terpecah belah.
Menyadari kondisinya yang semakin memburuk, Dahlan (Yayu Unru) mencoba mengumpulkan tiga anak-anaknya yang telah mengambil jalan masing-masing: Adam (Oka Antara) yang memiliki istri dan satu anak, Laras (Indah Permatasari) yang sibuk mengurus panti dan si bungsu yang selalu dimanja, Dicky (Ge Pamungkas) tapi terjerat narkoba. Setelah meninggalnya ibu mereka, Ayah yang menikah lagi dan permasalahan lainnya, kebersamaan sebagai keluarga semakin memudar. Dahlan tidak ingin ia dibenci oleh anak-anaknya. Ia pun mencoba menyatukan mereka dengan warisan dan menguji mereka untuk menjadi seorang pemimpin sebuah homestay dengan karyawan-karyawan yang unik. Tapi melewati titik rapuh tersebut sungguh sangat sulit bagi keluarga ini dengan berbagai persoalan lama dan baru yang muncul secara bersamaan.
Acho pernah mengatakan, kalau ide film ini berawal dari Ernest Prakasa sendiri (yang merupakan produser film ini bersama Chand Parwez Servia). Walaupun Acho memasukkan komedi-komedi yang menjadi ciri khasnya, sentuhan Ernest juga terasa sepanjang alur, antara lain para pemain pendukung yang punya andil dalam membangun kelucuan dan memiliki momen greng-nya masing-masing. Peran yang paling banyak membangun tawa tidak diragukan lagi dimiliki oleh Rini (Hesti Puwadinata – istri Adam) dan Umar (Dicky Difie – karyawan homestay).
“Gara-Gara Warisan” mencoba untuk menyeimbangkan sisi komedi dan drama dalam ceritanya. Namun sayang sekali, beberapa kali momen dramatis tersebut terasa berlebihan. Konflik yang berlapis-lapis dengan karakter yang bejibun membuat film ini mencoba terlalu keras untuk menyampaikan banyak hal sehingga berjalan tertatih-tatih menuju ending. Sisi komedi pun seolah tertidur dan dibangunkan dengan paksa menjelang akhir. Namun kelemahan tersebut untungnya masih bisa diselamatkan oleh para pemain (minus make up ‘kecanduan’nya Dicky dan Vega).
“Gara-Gara Warisan” membuat kita mengingat kembali tentang titik rapuh ini. Barangkali ada yang mengingatnya dengan tertawa. Tapi akan banyak pula yang mengingatnya dengan kesal yang masih tersisa.

Tinggal di Planet Bekasi!