WAKTU MAGHRIB (2023) – KAMPUNG YANG KETAKUTAN DAN PENAMPILAN ANAK-ANAK YANG MENAKJUBKAN

Film Waktu Maghrib – film panjang pertama Sidharta Tata – berlatar belakang tahun 2002. Kira-kira apa yang kalian lakukan di tahun tersebut? Ada pembaca yang baru lahir barangkali. Kalau penulis sih masih asyik-asyiknya main sampai puas sama teman-teman. Tanpa gadget. Asal pulang sebelum maghrib karena katanya ada demit suka nyulik anak-anak. Nah kenangan ditakut-takuti tersebut (terutama bagi anak yang lahir di era 90-an) diolah sedemikian menarik sehingga menjadi film horor yang sangat baik.

Selain kembali ke latar belakang waktu dua puluh satu tahun lalu, Waktu Maghrib juga bersetting di sebuah perkampungan yang nampaknya masih sangat memegang teguh segala perintah dan larangan, terutama yang berhubungan dengan hal gaib. Penulis sangat suka bagaimana Waktu Maghrib mengeksplorasi suasana kampung tersebut: mulai dari warga dengan mata pencaharian mereka, rumah-rumah, jalan yang mayoritas masih tanah, hutan, sekolah dan siswa-siswinya.

Terkait sekolah, karakter utama film ini adalah anak-anak sekolah yang pada awalnya terlihat menyenangkan dengan segala kebiasaan mereka. Ada Saman (Bima Sena) dan Adi (Ali Fikry) yang sering telat masuk kelas sehingga membuat Bu Woro (Aulia Sarah) marah-marah, sementara Ayu (Nafiza Fatia Rani) adalah siswi rajin kesayangan guru-guru. Tapi semuanya berubah seiring kisah masing-masing anak terbuka. Saman tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana, berdinding kayu dan beralas tanah. Ia tinggal bersama embah yang sedang sakit dan Mas yang tidak segan main pukul. Sepintas penulis berpikir, nasib Saman ini sebetulnya sudah horor. Tapi rupanya kejadian mengerikan tidak mengasihaninya. Atau barangkali demit tersebut adalah perwujudan dari kerasnya kehidupan Saman dan keluarganya?

Demit itu pun makin merajalela mengganggu kampung tersebut. Penulis kembali teringat pada masa kecil dulu ketika warga dengan mudah ditakut-takuti dengan berbagai isu, sehingga orang-orang pun tidak mudah ‘bergerak’. Bahkan isu-isu itu sampai masuk ke bilik-bilik paling sederhana. Masih ingat betul bagaimana penulis sangat takut buat keluar rumah karena ada ninja, drakula, pocong, kolor ijo dan sebagainya. Sidharta Tata memang mewujud-nyatakan secara gamblang si dedemit dalam Waktu Maghrib, suatu makhluk dengan segala morfologinya yang harusnya bisa ikonik. Tapi secara esensi, penulis sangat mengapresiasi kepiawaiannya memotret sebuah lingkungan yang begitu takut. Ketakutan yang berlangsung hingga sekarang, bahkan dengan tranformasi dedemit. Ia pun piawai mengolah kebaikan dan keburukan dengan mengolah saripati The Wailing (Na Hong-jin, 2016) yang begitu mulus masuk ke dalam inti cerita.

Hal lain yang patut sekali diapresiasi dalam Waktu Maghrib adalah akting tiga pemain ciliknya yang menakjubkan. Bima Sena, Ali Fikry dan Nafiza Fatia Rani bermain sangat memukau disini. Range akting mereka luas. Sampai-sampai mereka harus masuk ke dalam adegan yang sebetulnya bukan ranah usia mereka. Tapi mereka mampu melaksanakannya seolah tanpa kesulitan. Penulis puas sekali pasca nonton film ini lantaran performa mereka.

Dalam batas waktu antara terang dan gelap, satu sosok makhluk mengajak bermain. Tanpa tahu akibat setelahnya, anak-anak itu pun tersesat, kemudian takut. Bukankah dalam kondisi yang abu-abu, kita seringkali takut dan ragu?

Waktu Maghrib tayang di bioskop mulai 9 Februari 2023.

Share