Sama seperti Joker, Todd Phillips kembali menyusun skenario Joker 2 bersama Scott Silver. Film ini mengambil latar waktu dua tahun setelah kejadian pada film pertama. Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) kini menjadi pasien dari Arkham Asylum sambil menunggu sidang atas lima (atau enam) pembunuhan yang dilakukannya, termasuk Murray Franklin yang dibunuhnya dalam siaran langsung
Todd Phillips pun dengan berani mencampuradukkan beragam genre secara liar, dari drama psikologis, romansa, prison film, courtroom drama, hingga yang paling nyeleneh, musikal. Begitu besar ambisi sang sineas untuk menjauh dari pakem sekuel Hollywood, ia sampai melupakan satu hal esensial: membuat film bagus. Tidak satu pun elemen dari berbagai genre di atas mampu ia terjemahkan menjadi tontonan menarik.
Benarkah ada kepribadian lain dalam diri Arthur? Dia sendiri bergumul dengan pertanyaan itu. Tapi satu yang pasti, Arthur masih sesekali memandang dirinya sebagai bintang yang bersinar di atas panggung pertunjukan. Payung-payung hitam para polisi berubah jadi warna-warni bak properti musikal di kepalanya.
SINOPSIS
Tidak lama setelah melakukan lima pembunuhan, termasuk Murray Franklin (Robert De Niro, “Taxi Driver“) yang disiarkan secara langsung lewat acara televisi yang dipandunya, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix, “Her“) kini mendekam di Arkham State Hospital. Arthur yang tampak kurus kering kini tengah dalam proses untuk menanti persidangan atas kasus pembunuhan yang telah ia lakukan.
Disela-sela persiapan tersebut, Arthur dipertemukan dengan Harleen Quinzel (Lady Gaga, “A Star is Born“) atau Lee. Salah seorang pasien minimum security di Arkham ini mengaku kalau ia jatuh cinta pada Joker dan Arthur yang haus akan kehangatan dan perhatian seorang wanita pun menyambut cinta Lee dengan tangan terbuka.
REVIEW
Di saat mayoritas sekuel cenderung berusaha nampak lebih besar, pilihan tersebut sejatinya merupakan pendekatan anti-blockbuster yang unik. Sayangnya Phillips seolah cuma berpikir sampai di situ. Sebatas menginginkan filmnya terlihat berbeda, tanpa tahu bagaimana mengembangkannya dengan baik.
Muncul harapan tatkala narasinya memperkenalkan Harleen “Lee” Quinzel (Lady Gaga) ke atas panggung. Joker dan Lee berpotensi membawa dinamika destruktif yang menarik, khususnya sejak kita melihat keduanya berdansa di hadapan kekacauan membara yang mereka ciptakan sendiri. Tapi apa daya, naskahnya bak kebingungan mesti bagaimana mengarahkan lampu sorot ke arah Harley Quinn.
Tidak ada yang salah dalam hal akting. Sebagaimana Phoenix yang masih memukau, terutama soal kemampuannya menarik garis batas antara perangai Arthur dan Joker, lewat perbedaan kepercayaan diri yang dibawakan secara luar biasa, Gaga pun mulus bertransformasi sebagai sesosok “perempuan gila”. Hanya saja Phillips tidak tahu cara memaksimalkan kualitas aktrisnya.
Begitu juga terkait elemen musikal. Fokus terhadap isi pikiran Arthur nyatanya turut diterapkan pada musikalnya, yang mayoritas hanyalah imajinasi sang protagonis. Masalahnya isi kepala Arthur tidak jauh-jauh dari dilema seputar persona Joker dan hasratnya menjalin asmara dengan Lee. Repetitif. Demikian pula pengarahan Phillips yang terlalu mengandalkan siluet dan latar hitam monoton.
Ketika Arthur bertemu dan jatuh cinta dengan Lee, film ini semakin mengeksplorasi dinamika hubungan mereka yang dipenuhi oleh kegilaan dan delusi. Joker: Folie à Deux dengan cermat menyoroti pengaruh Joker pada dunia di sekitarnya, termasuk kisah cintanya dengan Lee.
Seelain itu sekuel ini tidak hanya menyoroti dampak transformasi Arthur menjadi Joker di film pertamanya, tetapi juga memperlihatkan pergulatan batinnya dengan identitas gandanya. Di Arkham State Hospital, Arthur perlahan-lahan mulai menerima persona Joker sebagai sosok kejam yang bersalah atas pembunuhan Murray Franklin dan empat orang lainnya.
Nomor musikalnya terasa melelahkan bak nyanyian pengantar tidur akibat miskinnya kreativitas sang sineas. Hanya Gonna Build a Mountain yang dikemas penuh tenaga. Sisanya, Phillips seperti terjebak dilema antara melangkah secara total menuju kemeriahan musikal, atau bertahan di kesan membumi yang jadi identitas film pertama.
Belum lagi, karena kebanyakan cuma mewakili imajinasi karakternya, rangkaian musikal Joker: Folie à Deux pun tidak berkontribusi banyak terhadap penceritaan. Tidak lebih dari sempilan video klip karaoke ketimbang alat untuk memperkuat cerita.
Sesungguhnya ada setumpuk gagasan brilian tersimpan di sini, termasuk caranya menyindir kita selaku penonton, yang memuja kekacauan dan kekerasan, ketika secara tidak sadar, sepanjang 138 menit filmnya, mengharapkan Arthur meledakkan kegilaannya demi memperoleh hiburan.
Masalahnya, kedangkalan eksplorasi milik naskahnya melemahkan gagasan-gagasan tersebut. Memasuki fase konklusi (yang rasanya bakal menyulut kontroversi di kalangan penggemar semesta Batman), Joker: Folie à Deux menegaskan jati dirinya sebagai penganut nihilisme. Tapi nihilis yang satu ini bukan mendorong kita merefleksikan kehidupan, melainkan keputusan meluangkan uang dan waktu untuk menontonnya.
Lady Gaga membawa energi baru dalam karakter Harley, dengan kepribadian yang manipulatif dan cerdas. Namun, penulisan cerita tampaknya tidak memberinya ruang untuk berkembang, baik sebagai individu maupun pasangan Joker.
Joker: Folie à Deux tayang di bioskop Indonesia mulai Rabu, 2 Oktober 2024. Jika kalian ingin menyaksikan film pertamanya bisa diakses secara streaming di HBO GO
