Sejak dicetuskan oleh Dorothy Miller di tahun 1981, lalu ditelisik oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), generasi sandwich telah menjadi fenomena global. Apalagi di Indonesia, dimana berbakti kepada orang tua – termasuk di dalamnya dipahami sebagai memenuhi berbagai kebutuhan mereka – adalah suatu kewajiban.
Kalau tidak dilaksanakan dianggap anak yang durhaka. Ini berlanjut bagai estafet ke dalam pemberian nafkah untuk anak-anak yang merupakan bentuk tanggung jawab orang tua. Siklus nasib yang kerap berulang ini membuat seorang generasi sandwich berada di antara himpitan persoalan, terutama perihal keuangan. Ia harus memenuhi kebutuhan dirinya, orang tuanya, anak-anaknya, bisa juga anggota keluarga yang lain. Bahkan di banyak kesempatan kebutuhan pribadinya ia kesampingkan.
Dalam film Home Sweet Loan karya Sabrina Rochelle Kalangie, kita bertemu dengan Kaluna (Yunita Siregar). Perempuan dengan kedua orang tua yang masih lengkap, pekerjaan yang baik di kota besar dan tinggal di sebuah rumah yang layak. Kehidupan Kaluna terusik lantaran dua kakaknya memboyong serta pasangan dan anak-anak mereka untuk tinggal di rumah tersebut. Kaluna pun terusir dari kamarnya lalu tidur di ruang belakang yang sempit dengan pintu yang sulit tertutup rapat.
Walaupun Ayahnya masih menerima uang pensiun yang barangkali mencukupi, paling tidak kebutuhan pribadinya, tapi sebagai anak yang berusaha berbakti, di format excel yang dirangkai Kaluna di kantor sebagai kendali posisi debit-kredit keuangannya, selalu saja terselip kebutuhan rumah macam token listrik. Kaluna pun bertekad untuk menata hidupnya dengan mandiri dan punya rumah sendiri.
Tapi di kota besar, harga rumah kerap tak masuk akal.
Konflik Peran Generasi Sandwich
Mengingat tanggung jawabnya yang berlipat, seseorang yang termasuk generasi sandwich memiliki multi-peran dan seringkali tidak seimbang. Goyahnya peran yang ia emban dapat disebabkan oleh kepribadian, karakter keluarga, dan jenis pekerjaan. Tiga hal ini menjadi pergerakan diri Kaluna dalam keseharian yang bisa kita lihat di Home Sweet Loan. Tapi nampaknya, Kaluna tidak memiliki konflik yang berat di pekerjaan lantaran sepanjang film kita diperlihatkan lingkungan kerja Kaluna yang nyaman, rekan kerja dan bos yang suportif, apalagi ada program pinjaman untuk kredit rumah, dan tentu gaji yang tidak menjadi keluhan. Entah ada apa di balik sekian jam kerja bukan menjadi fokus film ini. Demi tanggungan dan rumah masa depan, Kaluna masih bisa mengambil pekerjaan sampingan sesekali.
Dengan demikian, ketidakseimbangan konflik peran Kaluna ada pada karakteristik pribadi dan keluarga.
Greenhaus dan Beutell menggambarkan macam-macam konflik peran yang dialami oleh generasi sandwich: time-based conflict, misalnya semakin banyak waktu yang digunakan untuk hal tertentu berakibat pada sedikitnya waktu untuk hal lain; strain-based conflict, dimana stres dalam satu peran mempengaruhi peran lainnya; behavior-based conflict, perilaku akibat satu peran dapat mempersulit peran lain.
Apa yang dialami Kaluna, apalagi ketika masalah utama keluarga memuncak, menyentuh tiga konflik peran tersebut. Perwujudan akibat pada peran Kaluna sebagai karyawan hanya diperlihatkan lewat konflik intrapersonal yang tercermin dari ekspresinya yang berlapis ketika bekerja dan memeriksa catatan keuangan di excel. Adapun pengaruh pada kinerjanya tidak digambarkan dengan rinci. Atasannya pun nampak tidak pernah mengeluh. Ini dapat diartikan konflik peran yang dialami Kaluna berpengaruh lebih besar pada porsi perannya sebagai anak, adik, dan individu. Apa yang terjadi pada keluarganya memberikannya tekanan dan mempersulit perannya sebagai individu yang harusnya punya sesuatu untuk diberikan pada diri sendiri. Kaluna memilih untuk menahan gaya hidup. Namun mimpi untuk memiliki rumah sendiri semakin jauh.
Apalagi menurut Pagani dan Marenzi, perempuan sebagai generasi sandwich mempunyai konflik peran yang lebih besar dibandingkan dengan lelaki. Mereka dituntut untuk mengambil peran berlebih sebagai ‘pengasuh’ generasi yang lebih tua dan generasi di bawahnya di satu rumah. Sebagaimana bisa kita lihat, kakak lelaki Kaluna sehari-hari lebih sibuk bermain game di depan anak dan istrinya. Hal yang kerap terlihat saat ini di tempat umum, stasiun misalnya. Ketika sang istri sibuk mengurus anak yang rewel, sang suami sibuk dengan permainan gawai.
Kaluna, walaupun di tengah kemarahan dan sesakit apapun mampu mengikis emosi dan kembali untuk berbakti. Ia terima semua dengan angka-angka excel yang menggelinding.
Generasi Sandwich dan KPR Rumah
Tekad Kaluna untuk memiliki tempat tinggal sendiri karena rumah orang tuanya sudah terlalu ‘sempit’ membuatnya melakukan Theory of Planned Behavior yang berhubungan dengan intensi dan sikap dalam memupuk kemampuannya menanggung beban uang muka dan cicilan. Sikapnya sebagai generasi yang melek perhitungan keuangan dan memiliki akses untuk paham kerja aplikasi angsuran membuatnya berhati-hati ambil keputusan sesuai jalan. Namun hambatan yang menghantam datang dari tanda-tanda eksternal yang luput ia perkirakan.
Sebagai karakter yang punya keyakinan untuk lepas dari himpitan, apa yang Kaluna lakukan sejalan dengan nasihat-nasihat finansial yang kadang kala seperti membual. Tapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Mereka bilang, dengan segala tanggungan, generasi sandwich bisa memiliki rumah sendiri (walaupun tidak disebutkan di daerah mana) dengan beberapa catatan, antara lain: komunikasi dengan keluarga, menyusun anggaran keuangan, membuka keran penghasilan lain, konsisten menabung, dan memilih program yang sesuai. Mungkin ini juga menjadi hasil riset pembuat film dan penulis ketika mempersiapkan cerita tentang Kaluna. Cara jitu yang generik yang dapat diterapkan oleh Kaluna-Kaluna di luar sana, namun belum tentu bisa dilakukan oleh orang lain dengan nasib dan kesempatan yang ada di bawahnya.
Siklus yang Berulang
Menjelang penghujung film, Home Sweet Loan mencoba menunjukkan usaha Kaluna dan keluarganya untuk menghentikan siklus generasi sandwich. Mereka menghentikan beberapa hal dan memulai awal yang lain. Kaluna juga mengambil keputusan yang diharapkan bisa membuka berbagai kesempatan. Namun, sepertinya Kaluna belum bisa lepas dari konflik peran.
Ia memang nampak lebih leluasa dalam menghadapi keputusan hidup. Termasuk menerima usaha seseorang yang lebih punya kemampuan. Dengan demikian menghadirkan peran lainnya. Harapan memiliki rumah sendiri semakin besar, walau kali ini menyiratkan bukan sepenuhnya datang dari jerih payah pribadi.
Dengan loyalitas sebagai anak yang masih ia pegang teguh. Apalagi sedari awal Kaluna adalah karakter yang paling peduli dengan keluarga, rasanya posisi sebagai generasi sandwich akan tetap ia jalani. Terlebih ia juga masih punya peran pada cara baru yang ditempuh kedua orang tuanya. Meski kelihatannya kali ini akan lebih ringan.
Bagi banyak orang, peran sebagai generasi sandwich tidak lepas dari darma dan karma.
Film Home Sweet Loan sedang tayang di bioskop!
Referensi:
Ajzen, I. (2005). Attitudes Personality and Behaviour. International Journal of Strategic Innovative Marketing. Vol. 3, p. 117.
Khalil, R.A. & Santoso, M.B. (2022). Generasi Sandwich: Konflik Peran dalam Mencapai Keberfungsian Sosial. Share: Social Work Jurnal, Vol. 12 No.1 DOI: 10.24198/share.v12i1.39637
Marcomm Loan Market. (2024, 28 Februari). Sering Terjebak Jadi Sandwich Generation, Bisakah Gen Z Membeli Rumah Impian di Usia Muda? Diakses 3 Oktober 2024. https://www.loanmarket.co.id/news/sering-terjebak-jadi-sandwich-generation-bisakah-gen-z-membeli-rumah-impian-di-usia-muda
Miller, D. A. (1981). The ‘sandwich’ generation: adult children of the aging. Social Work, XVI(5), 419-423.
Pagani , L., & Marenzi, A. (2008). The Labor Market Participation of Sandwich Generation Italian Women. J Fam Econ Is, 29, 427-444. doi:https://doi.org/10.1007/s10834-008-9112-0

Tinggal di Planet Bekasi!




