Ada banyak film yang menghadirkan karakter-karakter dengan keistimewaan fisik. Mereka ditempatkan dalam situasi lingkungan dengan pemikiran konvensional, lantas merasa rendah diri dan menghadapi berbagai kebingungan dalam pencarian. Sampai akhirnya mereka memahami bagaimana menemukan diri sendiri dan menjadi sosok yang berbeda.
Itu adalah level awal dari penerimaan diri. Lantas setelah itu, selanjutnya level apa?
Moza (Marshanda) dalam film “Gendut? Siapa Takut!” digambarkan sudah mengalami masa-masa itu. Di saat usianya menginjak 30, ia berada di level lebih tinggi dari penerimaan, yakni having fun dalam menghadapi berbagai kondisi dan komentar. Bahkan tanpa gentar ia melawan orang-orang yang dengan enteng merendahkan dirinya. Lalu dengan elegan meninggalkan orang tersebut dengan pemikiran yang mungkin belum sampai ke otak mereka.
Fun-nya kehidupan Moza ini juga dipancarkan oleh mayoritas warna kuning yang cerah di sekelilingnya, mulai dari barang-barang di kamar, rumah, pakaian yang dikenakan, sampai animasi yang melengkapi alur cerita. Semua menggambarkan diri Moza yang selalu terlihat baik-baik saja dalam menghadapi bencana yang disebabkan oleh netizen. Apalagi Moza adalah seorang penulis yang aktif berkarya. Semua pemikiran, keluh kesah dan sebagainya pasti sudah dilepaskan di dalam buku-buku yang dirilisnya. Sehingga tidak mungkin bagi seorang Moza untuk menyimpan stres. Dalam hal ini, Moza haruslah menjadi tauladan yang baik bagi penonton. Ia membuktikan diri bukan dengan fisik yang digdaya, tapi dengan segudang karya.
Level Moza yang sudah tinggi rupanya masih bisa digoyahkan dengan urusan memaafkan. Datanglah Nares (Wafda Saifan Lubis) di kala Moza sedang meet and greet sama para pembacanya. Nares adalah teman sekolah Moza yang dulu sering sekali merundungnya. Sampai-sampai Moza trauma dan tidak mau bertemu Nares lagi. Tapi Nares – walaupun masih menjadi sosok yang cuek – bertekad untuk mendapatkan maaf dari Moza. Lambat laun, kegigihan Nares membuahkan hasil. Moza simpati padanya. Proses Moza dalam memaafkan masa lalu menjadi prosesnya juga untuk menginjak level selanjutnya.
Tapi pesona Nares muncul tidak sebatas pada kegigihannya dia memperbaiki diri. Sementara Moza sendiri sebetulnya sudah jatuh cinta sama sutradara yang akan mengadaptasi bukunya, Dafi (Marthino Lio). Tapi tidak susah bagi Moza untuk memutuskan ketika tahu sifat asli mereka.
Film panjang keempat yang disutradarai Pritagita Arianegara ini terasa segar & menyenangkan. Walau ada plot-plot yang tumpang tindih, tapi semua termaafkan dengan dialog yang asyik dan warna-warni sinematografi yang ciamik dari Faozan Rizal. Yang menambah suasana makin menyenangkan tentu saja penampilan Marshanda yang sangat ekspresif dalam menjangkau beragam emosi. Walaupun fatsuit-nya terlihat kurang natural, dinamika mimik dan gestur akting Marshanda setidaknya sejenak bisa mengalihkan perhatian penonton. Jajaran pemain lainnya juga tidak kalah berjasa. Reuni Tora Sudiro & Cut Mini sebagai orang tua Moza yang cinta alam juga sukses membuat penonton tertawa dengan beragam celetukannya. Barangkali pembawaan mereka inilah yang membuat Moza tumbuh menjadi perempuan yang tidak cengeng.
Selain membawa pesan body positivity, film “Gendut? Siapa Takut!” bisa menjadi pijakan baru bagi Marshanda untuk tumbuh kembali. Tidak bisa disangkal, ia harusnya bisa menjadi bintang yang lebih bersinar.
Film “Gendut? Siapa Takut!” tayang di bioskop Indonesia mulai tanggal 22 September 2022.

Tinggal di Planet Bekasi!