Kehadiran Sweet As, sebuah coming-of-age road film patut dirayakan. Selain ceritanya tentang seorang remaja perempuan Aborigin yang – seperti remaja lainnya – tengah berjuang mencari jalan hidupnya, film ini juga disutradarai dan ditulis (bersama Steve Rodgers sebagai co-writer) oleh pembuat film perempuan asli dari Suku Aborigin, Jub Clerc. Serta tentunya lokasi perjalanan cerita yang mengeksplorasi keindahan dataran Australia Barat yang sekilas nampak senada dengan Sumba.
Sudah dapat dipastikan, film ini sangat kental dengan hal-hal berkaitan dengan penduduk asli Australia. Uniknya, Sweet As tidaklah bercerita tentang sebuah protes seperti halnya sering kita dapati dalam cerita-cerita Indigenous people, tapi memotret seorang remaja yang sedang tumbuh seperti orang-orang seusianya, juga fokus pada perubahannya dalam memahami keadaan diri dan sekitar. Walaupun juga ada bagian-bagian kecil yang mengingatkan kita sulitnya kehidupan mereka, seperti rumah-rumah sederhana, kapal-kapal pengangkut hasil tambang yang menggerus tanah kehidupan, hingga satu tokoh yang sedang mencari kelompok aslinya.
Hal yang menarik lainnya dalam Sweet As adalah penggunaan fotografi sebagai alat penyampaian cerita dan seolah menjadi sarana mengatakan pernyataan sang pembuat film. Lewat bidikan-bidikan Murra, si karakter utama yang mengikuti program perjalanan untuk remaja-remaja bermasalah (layaknya The Breakfast Club tapi dengan road trip), kita bisa melihat dan merasakan kegelisahannya, getirnya hidup yang ia alami dan lambat laun, seiring perkembangan karakternya, kita juga bisa merasakan manisnya pengalaman yang ia jalani. Semua itu, jika dapat diresapi dengan mendalam, menghadirkan keharuan.
Rasanya tidak pernah habis kisah-kisah tentang penduduk asli dari belahan dunia manapun. Apalagi bagi mereka yang sampai saat ini masih sulit mencari jalan untuk bercerita.
Film Sweet As bisa disaksikan di Festival Sinema Australia Indonesia 2023.

Tinggal di Planet Bekasi!