YUNI (2021) – SUARA-SUARA SAYUP PEREMPUAN KINI TERDENGAR LANTANG

Kamila Andini adalah salah satu sutradara perempuan berbakat yang sudah malang-melintang di dunia perfilman Indonesia maupun mancanegara lewat film-filmnya The Mirror Never Lies dan Sekala Niskala yangmampuberbicara banyak di pelbagai ajang penghargaan. Kini lewat film teranyarnya yang berjudul Yuni, sutradara lulusan Deakin University ini mengangkat kehidupan perempuan remaja di wilayah urban Indonesia sebagai sentral ceritanya.

Film Yuni yang menjadi perwakilan Indonesia di ajang Academy Awards tahun 2022 nanti dibintangi oleh Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Neneng Wulandari, Dimas Aditya, Marisa Anita, Muhamad Khan, Asmara Abigail, Nazla Thoyib, Ayu Laksmi, Anne Yasmine, Nova Eliza dan Rukman Rosadi. Yuni yang mendapatkan 14 nominasi dalam Festival Film Indonesia 2021, di antaranya sebagai film terbaik ini akan tayang reguler di bioskop mulai 9 Desember 2021.

SINOPSIS

Yuni (Arawinda Kirana) adalah seorang gadis pecinta warna ungu yang berprestasi di sekolahnya. Hidup di rumah dititipkan pada neneknya di desa sementara Ibu (Nova Eliza) dan Ayahnya (Rukman Rosadi) bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan sopir di Jakarta. Duduk di kelas 3 SMA, Yuni dihadapkan pada kebimbangan akan masa depannya saat orang tua  Yuni membebaskan Yuni untuk menentukan apakah ingin melanjutkan kuliah atau mencari kerja di desa yang memiliki sedikit peluang untuk gadis muda sepertinya.

Datangnya lamaran dari salah seorang kerabat tetangganya (Mohammad Khan) menambah beban pilihan Yuni. Omongan warga sekitar, mitos menolak lamaran akan sulit menikah dan budaya nikah muda yang mengakar di desanya membuat Yuni makin bimbang. Situasi makin pelik manakala bukan hanya satu orang yang melamarnya tetapi tiga pria. Sementara itu ada pria lain yang memikat hati Yuni, adik kelasnya Yoga (Kevin Ardilova)

REVIEW

Bangkitnya film Indonesia di awal tahun 2000-an ditandai dengan hadirnya film remaja fenomenal bertajuk Ada Apa Dengan Cinta? yang mengangkat kehidupan gadis remaja bernama Cinta di kota Jakarta yang didominasi oleh urusan asmara dan persahabatannya dengan 4 sahabatnya. Kini nyaris dua dekade setelahnya hadir film Yuni yang juga memiliki sang titular karakter sebagai sentral, juga dengan problema kehidupannya, kali ini di daerah urban pedesaan dengan para sahabatnya.

Meskipun sama-sama dikategorikan film remaja dengan bumbu roman, namun Yuni memiliki pendekatan berbeda. Jika pada awal 2000 film-film Indonesia masih dalam tahap bangkit dan mencari penonton yang efektif dengan film-film bertema ringan dan mudah dicerna, kini di tahun 2021 saatnya film Indonesia berbicara tentang isu-isu kritis untuk dibicarakan. Salah satunya adalah isu hak perempuan.

Setelah beberapa tahun lalu hadir Dua Garis Biru (2019) berbicara tentang remaja perempuan menghadapi kehamilan di luar nikah dalam bungkus drama keluarga dan Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak (2018) berbicara tentang kerasnya hidup perempuan dewasa. Yuni hadir dengan lugas bercerita soal hak dan kehidupan remaja perempuan.

Relevan dan memiliki sambung rasa dengan kehidupan remaja perempuan di Indonesia pada umumnya, naskah Yuni yang ditulis Prima Rusdi dan Kamila Andini berbicara banyak soal keniscayaan pahit yang lazim dilalui oleh Yuni dan kawan seusianya, yaitu pernikahan usia muda yang dipercaya sebagai hal yang wajib dilakukan remaja perempuan sebagai usaha menghindari dosa zinah dan mencegah kasus kehamilan di luar nikah yang sedang marak di wilayah Yuni tinggal.

Film yang dibuka dengan isu aturan baru yang akan dicanangkan aparat pemerintah soal tes keperawanan untuk siswi sebagai respon dari banyaknya kasus hamil di luar nikah di wilayahnya, Yuni menentang dan mempertanyakan aturan tersebut, meski ia tidak menampik maraknya fenomena kasus hamil di luar nikah yang terjadi di desanya.

Di kesehariannya, Yuni hidup layaknya remaja pada umumnya, membantu mencuci pakaian dan beberes rumah serta senang bermain dengan sahabat. Yuni dan kawan-kawan kerap mempertanyakan soal masa depan mereka. Tidak ada satu pun yang punya cita-cita yang jelas. Termasuk Yuni, yang ingin menjadi penyanyi, tetapi juga ingin melanjutkan kuliah. Orang tuanya yang lulusan SD pun tidak bisa memberi banyak masukan. Yuni harus menentukan masa depannya sendiri.

Premis seorang remaja perempuan yang tidak tahu apa-apa dan tidak punya role model sementara harus menentukan masa depannya manakala tiba-tiba dilamar oleh orang yang tidak sama sekali ia kenal ini adalah praktek yang lazim menurut sepengamatan penulis yang tinggal di daerah urban perbatasan Kabupaten Bekasi. Praktek lamaran dengan menganggap perempuansebagai komoditi yang dapat ditebus dengan mahar uang sekian juta, sampai tawaran poligami masih marak di sekitar kehidupan penulis, sehingga terasa sangat relevan. Kamila dan Prima menulis dengan kepekaan sudut pandang perempuan yang akurat.

Soal keputusan yang diambil Yuni dan apa yang terjadi memang berpulang pada keputusan naskah, tetapi bagi penulis apa yang menjadi kesimpulan dalam film ini adalah sebuah kegetiran yang acapkali terjadi di kehidupan sehari-hari. Memiliki dua versi film antara festival dan teatrikal, Yuni versi 122 menit ini tidak terasa panjang dan memiliki plot kehidupan Yuni yang mengalir dengan selipan-selipan satir pada anekdot yang disampaikan perihal apa yang seharusnya dilakukan oleh perempuan remaja sesuai budaya setempat.

Dalam sesi wawancara bersama produser Ifa Isfansyah (Sang Penari) yang juga suami dari sang sutradara Kamila Andini, film Yuni diproduksi sebagai bentuk kepedulian para pembesutnya pada isu perempuan di Indonesia. Bagi mereka sangat mendesak bagi insan film di Indonesia untuk lebih banyak memproduksi film yang menyuarakan isu-isu penting bagi kelompok-kelompok rentan dan marjinal, dan Yuni adalah suara lantang bagi sayup-sayup suara perempuan remaja yang kerap diabaikan suaranya.

Dari para pemainnya, Arawinda Kirana (Quarantine Tales) sebagai sang protagonis Yuni sangat berhasil memerankan sosok Yuni, remaja perempuan yang mandiri, pintar, namun sedang dilanda kebimbangan menentukan masa depannya. Sikap tegas Yuni yang geram terhadap aturan tes keperawanan dan rasa miris pada sahabatnya yang sudah menikah dan baru melahirkan pun ditampilkan sangat baik. Selain kekuatan naskah, Arawinda juga mampu memberikan dimensi lebih pada sosok Yuni, menjadikannya karakter yang lovable dan membuat penonton peduli pada nasibnya.

Marisa Anita (Selamat Pagi Malam, Perempuan Tanah Jahanam) sebagai Ibu Guru Lis yang memiliki misi memberdayakan murid-murid perempuannya bermain baik dalam menyeimbangkan perspektif setelah dibombardir berbagai hal-hal dan frase-frase miris soal mitos apa yang tidak boleh dilakukan perempuan. Sahabat-sahabat Yuni yang dimotori Neneng Wulandari (Imperfect) dan Anne Yasmine juga efektif membantu karakter Yuni menemukan jawab dari segala tanyanya. Asmara Abigail (Mudik, Perempuan Tanah Jahanam), Muhammad Khan (Kucumbu Tubuh Indahku), Dimas Aditya (Pengabdi Setan, Mari Lari), Nova Eliza (Kafir) dan Rukman Rosadi juga memberikan penampilan gemilang meski dengan screentime yang minim.

Dua pemeran yang sangat mencuri perhatian adalah karakter Nenek milik pendatang baru, Nazla Thoyib yangcuek tapi suportif pada cucunya, meskipun kerap memberikan pilihan pada Yuni tanpa memberikan ruang diskusi. Sementara Yoga sang adik kelas pengagum Yuni diperankan dengan kuat dan berkarakter oleh aktor muda berbakat, Kevin Ardilova (Bebas, Tersanjung The Movie).

Semua aktor dalam film ini terdengar sangat fasih berdialog dengan bahasa jawa dan sunda banten yang kental, lengkap dengan aksen yang khas. Soal akurasi memang tidak penulis ketahui, tapi semua pemain berdialog sangat natural, apalagi setelah tahu bahwa proses coaching dialek dan bahasa dilakukan selama 1 bulan untuk disempurnakan dan digunakan dalam 1 bulan syuting yang harus dilalui. Untuk lebih menghayati, kru produksi dan pemain pendukung juga memakai jasa putra-putri asli Banten.

Dari sisi teknis semua kru bekerja dengan sangat baik. Dari penata kamera, penata artistik, make up, penata busana sampai ke tata suara yang mampu memberikan pengalaman sinematik unik mendengar film berbahasa Jawa dan Sunda banten yang jarang ada di dalam film-film Indonesia. Kredit lebih layak disematkan pada tata musik yang dikerjakan duet Mar Galo dan Ken Jenie (Posesif, Ali & Ratu-Ratu Queens) bekerjasama dengan komposer dari Prancis, Alexis Rault (Being 17, Ladies) yang mampu memberikan nyawa pada film Yuni dengan komposisi musik apik dipadukan dengan barisan lagu folk yang bernuansa akustik dengan vokalis perempuan. Pilihan yang sangat cerdas!

SUMMARY

Yuni adalah film yang penting dalam khasanah perfilman Indonesia. Lewat film Yuni, suara-suara remaja perempuan yang kerap terdengar sayup kini terasa lantan terdengar. Dengarkan suara-suara mereka yang belum tahu apa masa depan mereka, berikan gambaran dan buka ruang diskusi. Pesan itu disampaikan secara gamblang lewat 122 menit durasinya.

Lugas, berani dan sangat paham dalam mengulas dunia remaja perempuan, Yuni efektif menjadi cermin juga menjadi tontonan untuk belajar bahwa perempuan berhak punya pilihan dan berhak memilih masa depannya.

Yuni | 122 mins (teatrikal) | Dir: Kamila Andini | Script: Kamila Andini, Prima Rusdi | Cast: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Marisa Anita, Neneng Wulandari, Dimas Aditya, Nazla Thoyib, Ayu Laksmi, Asmara Abigail, Mian Tiara, Nova Eliza, Rukman Rosadi, Muhammad Khan | Genre: Drama, Coming of Age |Prod: Fourcolours Film, Akanga Film Asia, Manny Films,Kedai Film

Share