Diadaptasi dari cerpen karya Haruki Murakami, Drive My Car arahan Ryusuke Hamaguchi tidak hanya memberikan kita kisah seorang lelaki yang mencari kedamaian dalam diri sendiri, tapi juga menunjukkan pada kita tiga pertunjukan yang saling menguatkan satu sama lain.
Pertunjukan pertama adalah teater multilingual yang disutradarai dan dimainkan oleh tokoh utama dalam Drive My Car, Yūsuke Kafuku (Hidetoshi Nishijima). Dalam teater yang berjudul “Waiting For Godot” (ditulis oleh Samuel Beckett) dan “Uncle Vanya” (ditulis oleh Anton Chekov), para pemain – dengan melakukan improvisasi dari karya asli – berdialog dengan bahasa yang berbeda namun masih bisa mempertahankan jalannya komunikasi.
Kita sempat mendengar salah satu aktor berbicara Bahasa Jepang, sementara lawan mainnya berbicara Bahasa Indonesia di panggung. Bahkan dalam “Uncle Vanya” untuk pertunjukan di penghujung film, selain bahasa lisan yang bervariasi, juga diperkaya dengan interaksi dengan bahasa isyarat. Teater mutilingual yang ditampilkan dalam Drive My Car – yang merupakan turunan dari teater multikultural – seolah menunjukkan pada kita bahwa perbedaan dalam bentuk-bentuk bahasa bukanlah batasan dan hambatan untuk bisa saling memahami satu sama lain. Selain itu, teater multilingual juga dapat membuka eksplorasi lebih dalam terhadap isu-isu terkait identitas (Weinstein, 2000)1.
Pertunjukan yang kedua adalah proses di balik performa para pemain dalam “Uncle Vanya”. Mereka harus melalui tahapan-tahapan yang lazim: mengikuti casting, reading hingga membangun chemistry dengan mengenal satu sama lain. Menyaksikan proses tersebut membuat kita terlibat dalam berbagai persiapan suatu pertunjukan dan tentunya bagaimana mereka mengenal perbedaan dan persamaan masing-masing melalui bahasa.
Pertunjukan yang ketiga tentunya film Drive My Car itu sendiri yang membungkus dua pertunjukan di atas. Dengan penuturan yang mulus seperti Saab 900 Turbo merah yang menyusuri jalan tanpa hambatan, kita seperti dibawa berkeliling oleh seseorang yang ahli menyetir, layaknya keahlian Misaki Watari (Tōko Miura) yang dipuji oleh Kafuku. Begitu mulusnya hingga film berdurasi hampir tiga jam ini terasa memiliki daya terapeutik. Dalam perjalanan keliling Kota Hiroshima, dilengkapi dengan pertunjukan teater dan proses produksinya, kita menemani para karakter berusaha berdamai dengan diri masing-masing melalui spiritual chemistry. Ada yang harus terus mencoba, ada yang berusaha dewasa, dan ada yang mencapai tahapan kebijaksanaan yang lain. Pada akhirnya, seumpama hidup seperti laju sebuah kendaraan yang akan mencapai suatu tujuan, Drive My Car meminta kita untuk tetap hidup. Tenang. Semua akan baik-baik saja.
Drive My Car bisa kalian saksikan melalui aplikasi streaming KlikFilm atau HBO Max.
1. Weinstein, J. B. (2000). Multilingual theatre in contemporary Taiwan. Asian Theatre Journal, 17(2), 269-283. Retrieved from JSTOR. University of Northern Iowa.

Tinggal di Planet Bekasi!