Melihat kiprah beberapa film drama misteri yang diadaptasi novel yang belakangan tayang di bioskop tidak semuanya sukses, dua contoh film yang menjadi catatan adalah Gone Girl yang sukses dari sisi box office dan diapresiasi kritikus, sementara The Girl on A Train mengalami nasib berkebalikan, dicaci kritikus dan terhitung gagal secara box office, meskipun meraih 173 juta dolar di seluruh dunia.
Kini sebuah novel karangan sosok kontroversial, Delia Owens, yang bertajuk Where The Crawdads Sing segera tayang, film yang diproduseri aktris kawakan Reese Whiterspoon dan disutradarai Olivia Newman (First Match) ini memasang aktris muda berbakat Daisy Edgar Jones (serial Normal People, Under The Banner of Heaven) sebagai pemeran utama di film berlatar selatan Amerika Serikat ini.
SINOPSIS
Kehidupan Kya (Daisy Edgar Jones) sejak masa kecilnya akrab dengan kekerasan yang ayahnya lakukan kepada ibu dan saudara-saudaranya serta trauma dengan rasanya ditinggalkan. Kya kecil sudah ditinggal semua keluarganya dan hidup menanti mereka kembali di sebuah rumah dan tanah di sekitar rawa-rawa di North Carolina. Tidak bersekolah dan hidup hanya dengan mencari kerang, Kya pun tumbuh dewasa dengan anggapan orang aneh dan berbahaya bagi warga kota.
Semua omongan orang tidak Kya pedulikan, sampai pada kematian Chase Andrews, pemuda kota yang tampan dan kaya di bawah menara pengawas mengubah hidup Kya. Ia dituduh sebagai pembunuh Chase hanya karena Kya sendiri yang tinggal di rawa dan mendapat penghakiman bahkan sebelum diadili. Tiba saatnya pengadilan dan semua kebenaran pun terbuka, termasuk kehidupan cinta Kya yang melibatkan dua pria.
REVIEW
Datang dengan ekspektasi rendah pulang dengan senyum lebar merekah. Begitulah ekspresi penulis seusai menonton film Where The Crawdads Sing. Sutradara Olivia Newman sukses memberikan sajian drama misteri dengan sentuhan coming of age dan percintaan yang menghanyutkan. Kekuatan naskah dipadu kualitas teknis plus kekuatan akting para aktrisnya menjadi faktor utama film ini mampu memberikan kepuasan lebih melebihi ekspektasi.
Naskah yang ditulis oleh Lucy Alibar (Beasts of The Southern Wild, Troop Zero) menjadi satu bagian penting betapa film berdurasi 125 menit ini jauh dari menjemukan. Sekuens-sekuens adegan yang dimunculkan dalam film terasa taktis, walaupun film mempunyai momen-momen sepi untuk menampilkan suasana alam rawa-rawa yang eksotis, mistis sekaligus cantik, namun tiap adanya dialog (dengan aksen selatan yang kental) terasa ringkas dan mampu membuat film bergerak cepat, alias tidak berbasa-basi.
Alibar mampu mengalirkan naskah yang merangkum berbagai sub genre dalam film ini, coming of age yang menampilkan tumbuh kembang Kya kecil hidup bergumul di rawa-rawa sendirian, percintaan saat Kya remaja mengenal remaja pria, misteri saat muncul kematian misterius dari salah seorang pria yang dekat dengan Kya serta sedikit bumbu drama pengadilan saat Kya dewasa diadili atas kasus pembunuhan yang dituduhkan padanya. Ramuan berbagai sub genre ini terasa smooth dialirkan dan ditransisikan dalam film.
Dari sisi teknis, Olivia Newman dan tim produksinya sangat lihai menampilkan suasana dan latar belakang rawa-rawa dan kota kecil di rentang tahun 1950 sampai 1960-an. Indah, cerah, cantik, misterius, mistis adalah rasa yang penulis dapatkan saat menyaksikan film ini. Tidak hanya mengambil shot-shot lanskap, saat di ruang pengadilan pun Newman bersama sinematografer Polly Morgan (Lucy in The Sky) mampu memberikan adegan yang intens lewat pergerakan kamera yang atraktif sehingga adegan pengadilan yang berpotensi membosankan dieksekusi dengan atraktif.
Di adegan-adegan percintaan penulis merasa kamera mampu menangkap keintiman yang membuat penonton merasa gemas dan iri. Saat Kya dekat dengan Tate, sorot kamera yang fokus ke wajah kikuk Kya dan Tate saat benih-benih cinta muncul, begitu juga dengan adegan intim yang terasa romantis dan sensual, tapi tidak norak. Film ini seakan menunjukkan sudut pandang wanita saat menampilkan adegan intim. Ini bukan kebetulan, karena sebagian besar tim produksi di film ini adalah wanita.
Sementara itu, dari sisi akting penampilan menawan ditampilkan oleh dua pemeran Kya. Kya kecil oleh Jojo Regina (The Chosen) dan Kya remaja oleh Daisy Edgar-Jones (serial Normal People, Fresh). Keduanya tampil gemilang menampilkan Kya yang rapuh dan penuh ketakutan tapi juga penuh harapan dan keinginan untuk bertahan hidup. Momen-momen roman yang ditampilkan oleh Edgar-Jones juga sangat meyakinkan ditambah keberaniannya tampil polos dan terasa alami.
Satu hal yang menjadi kekurangan di film ini adalah kurangnya eksplorasi kasus kematian plus ending yang tidak menjawab satu pertanyaan penting. Pilihan ending dalam film ini seakan menegaskan kontroversi yang melekat pada sosok sang penulis novel Where The Crawdads Sing yang bersama suaminya Mark Owens pernah dan masih dituduh melakukan pembunuhan pada pemburu hewan langka ilegal di Zambia pada tahun 1995. Kasus ini menimbulkan tanya apakah kasus di novel Where The Crawdads Sing terinspirasi dari kisah hidupnya? Nampaknya hanya Delia dan Tuhan yang tahu.
SUMMARY
Where The Crawdads Sing adalah film drama yang komplet menampilkan kisah drama keluarga penuh kekerasan, coming of age, percintaan, misteri pembunuhan plus bumbu pengadilan yang memikat. Kita akan merasa tumbuh dan hidup bersama Kya di rawa-rawa yang indah sekaligus berbahaya, mistis dan misterius. Kelam, romantis, haru dan dramatis, Where The Crawdads Sing adalah drama adaptasi novel yang wajib untuk disaksikan di bioskop.
Where The Crawdads Sing tayang mulai tanggal 14 September di bioskop.





