LARA ATI (2022) – JOKO DAN “QUARTER-LIFE CRISIS”-NYA

Sepanjang hidup, kita mengalami berbagai macam krisis yang terjadi ketika kita memasuki rentang usia tertentu. Ada krisis-krisis yang kita alami ketika memasuki usia ABG, dewasa, tua, hingga barangkali menuju ketiadaan. Semua silih berganti dan umur seringkali menjadi tolak ukur ringan atau beratnya krisis tersebut. Tapi belum tentu seperti itu. Kadang apa yang dihadapi oleh seorang usia tiga puluhan sama dengan apa yang dihadapi oleh seorang remaja yang dewasa lebih dahulu.

Salah satu krisis yang seringkali ramai jadi pembahasan adalah quarter-life crisis yang menimpa orang-orang berusia pertengahan dua puluhan sampai tiga puluhan. Krisis ini biasanya terkait dengan identitas, pekerjaan atau karir, hubungan percintaan, masa depan, kekecewaan dan ekspektasi (Robbins & Wilner, 2001). Akibatnya, mereka yang mengalami krisis ini merasa insecure, cemas, hilang arah, bahkan depresi. Gambaran seseorang yang menghadapi masa-masa sulit ini bisa kita temukan dalam tokoh Joko (Bayu Skak) dalam film “Lara Ati” karya perdana Bayu Skak sebagai sutradara tunggal di bawah naungan Base Entertainment.

Awalnya kita akan pikir problematika Joko hanya sebatas ditinggal tunangan oleh kekasih tercinta, Farah (Sahila Hisyam). Tapi lama-lama ternyata krisis percintaan ini merembet kemana-mana dalam kehidupan Joko. Ia semakin menyadari pekerjaannya sebagai karyawan bank saat itu bukanlah passion-nya. Ia pun mempertanyakan identitasnya sebagai pekerja.

Kegelisahan yang ia sampaikan pada orang tuanya malah membuat mereka berekspektasi terhadap masa depan yang tidak-tidak. Ini membuat Joko semakin gelisah dan hilang arah. Untunglah ada Ayu (Tatjana Saphira) yang mengerti keinginan Joko. Tapi apakah mereka dapat memahami perasaan satu sama lain?

Jangan khawatir, krisis yang dialami Joko ini tidak akan membuat film ini terjerumus dalam drama yang tidak berkesudahan. Malah kita diajak untuk mengingat kembali quarter-life crisis yang barangkali pernah menghampiri kita dan mentertawakannya bersama-sama. Apalagi dialog-dialog yang disampaikan oleh semua karakter dengan Bahasa Jawa terasa mengalir begitu natural, dari bahasan tentang desain sampai yang ringan-ringan macam sapa salam dengan teman lama.

Dialog-dialog ini pun membuat semua karakter terasa hidup dan memiliki peran penting masing-masing. Lihat saja dua pasangan yang kasmaran dengan caranya sendiri-sendiri: Adiknya Joko, Ajeng (Keisya Levronka) dengan Fadli (Dono Pradana) sahabat Joko yang memadu kasih dengan menggemaskan, serta pasangan Bapak-Ibunya Joko yang saling berbalas celetukan yang kerap mengundang tawa. Hiburan dari tiap karakter ini membuat masalah berupa pacing jadi termaafkan.

Lara Ati memiliki adegan musikal yang sangat bagus di bagian pembuka. Mengingatkan kita pada sebuah film Hollywood memang, tapi berhasil diadaptasi dengan cerdas. Sayang sekali jenis lagu seasyik ini tidak diterapkan lagi sepanjang film. Semoga nanti ada film musikal dengan lagu-lagu seperti itu yang bisa membuat penonton di bioskop joget berjamaah dan melupakan krisis hidup masing-masing.   

Film Lara Ati tayang di bioskop mulai tanggal 15 September 2022.


*Robbins, A., & Wilner, A. (2001). Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties. New York: Penguin Putnam Inc.

Share