Ya memang, susah jadi pejuang. Susah melawan penjajah dari bangsa asing. Apalagi melawan penjajah dari bangsa sendiri yang bersembunyi di balik berbagai kebijakan. Dari pengalaman kita menonton film-film perjuangan di televisi, barangkali yang terpikirkan oleh kita tantangan jadi pejuang kemerdekaan adalah menghadapi senjata-senjata penjajah yang canggih dan penindasan yang tiada ampun. Tapi terbayangkah kalau para pejuang juga susah mendapatkan beras untuk makan sehari-hari?
Pada bagian awal film Perang Kota karya sutradara Mouly Surya, kita dibawa mengenal karakter Guru Isa (Chicco Jerikho) yang diam-diam mengambil perlengkapan di sekolah karena bekerja sebagai guru di situasi genting itu tidak menghasilkan apa-apa (bahkan profesi sebagai guru honorer saat ini juga tidak bisa menjadi pekerjaan utama).
Sedangkan istrinya, Fatimah (Ariel Tatum) harus melawan tentara bayaran Belanda untuk mendapatkan beras yang harganya melambung. Sementara Hazil (Jerome Kurnia) yang sebetulnya hidup enak lantaran ayahnya bersembunyi di ketiak penjajah juga musti diam-diam bertindak dalam barisan perjuangan. Karakter-karakter di dalam film ini dibuat se-manusia mungkin di tengah agresi Belanda yang enggan mengakui kedaulatan Republik Indonesia, termasuk nafsu bercinta yang tidak dapat dibendung.
Sebab pendekatan humanistik terhadap perjuangan tersebut, lambatnya alur Perang Kota adalah keharusan. Ini penting untuk kita mengenal para karakter dengan lebih detail, aksentuasi dalam percakapan mereka, keresahan-keresahan dalam mimik muka, gerak-gerik mereka dalam persembunyian, tipu daya demi terlaksananya rencana, hingga hasrat mereka di dalam kamar. Tapi perjalanan plot yang perlahan tersebut menjadi modal yang kelak terbayar dengan aksi eksekusi dan tembak-menembak yang menyimpan ketegangan.
Sebagai film yang beraroma noir dengan konflik moral, karakter yang sinis dan berusaha dibuat ambigu, peran Fatimah disini sangat penting sebagai femme fatale. Istilah tersebut digunakan untuk karakter perempuan yang menarik, namun menyimpan bahaya.
Terlepas dari apa yang digambarkan oleh sumbernya (diadaptasi dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis), di dalam Perang Kota, Fatimah memang menunjukkan karismanya sebagai perempuan yang cantik, kuat, dan mampu mengokang senjata, namun kurang menunjukkan bahaya dan muslihat, entah bagi tokoh-tokoh di sekitarnya, maupun bahaya bagi penjajah sebagaimana ia juga termasuk dalam kelompok perjuangan itu. Tentunya ia belajar taktik dan strategi dari apa yang dilakukan oleh kelompoknya. Sangat disayangkan jika ia hanya terima nasib di ujung cerita.
Terlepas pula dari keakuratan unsur sejarah dalam film fiksi ini, Perang Kota patutlah kita sambut sebagai pengingat, atau bahkan pertanyaan: sudahkah kita merdeka?
Film Perang Kota tayang di bioskop mulai Rabu, 30 April 2025.

Tinggal di Planet Bekasi!