Production value di film Pengepungan Di Bukit Duri arahan Joko Anwar memang tidak usah diragukan lagi. Ada momen-momen yang membuat penulis tercengang, apalagi pada adegan-adegan kerusuhan yang enggak tanggung-tanggung, pengrusakan yang merajalela, kumpulan massa yang tidak terkendali, dan kekerasan yang menggila.
Penulis sendiri sempat tenggelam dalam kepanikan dan seolah menjadi pihak yang diburu. Wajar, jika ada orang-orang yang merasa ke-trigger karena beberapa bagian (atau bisa saja keseluruhan) menggali trauma yang berusaha dikubur.
Kekerasan yang merajalela itu rupanya tertanam juga di dalam pribadi anak-anak sekolah. Kita dibawa menyaksikan murid-murid terbuang di SMA Duri yang diperankan dengan baik oleh pemain-pemain muda berbakat. Mereka memiliki gejolak emosi yang tidak terbendung dan melampiaskannya dengan tindakan-tindakan menerabas batas.
Bagaimana guru-guru menghadapi sikap dan kelakuan mereka? Mampukah mereka menerapkan apa yang disebut dengan teori belajar?
Teori Belajar
Ada beberapa teori belajar yang biasanya guru perhatikan dan upayakan di dalam proses belajar-mengajar. Implementasi teori-teori ini merupakan usaha institusi untuk mengendalikan hasil belajar yang diperoleh para siswa.
Dua di antara teori belajar tersebut adalah behavioristik dan humanistik yang berkaitan dengan sisi psikologis siswa dan lingkungan yang membentuk mereka. Istilah-istilah ini tentu dipelajari oleh para guru ketika mereka menjalani pendidikan di kampus. Secara tertulis memang mudah dibaca dan dipahami, namun sebagai guru, apalagi mengajar di SMA Duri, sabar adalah senjata utama untuk menerapkan teori-teori ini.
Berkunjung Ke SMA Duri
Di tengah sentimen rasial yang tajam di dunia Pengepungan Di Bukit Duri, kita bertemu Edwin (Morgan Oey) yang baru saja mulai mengajar di SMA Duri. Berbagai mata makin membesar menatap mata sipitnya meniti koridor sekolah menuju kelas. Di depan kelas, ia mendapati sikap siswi yang tidak peduli. Di dalam kelas, ia menghadapi sekelompok murid yang perlahan duduk di bangku mereka dengan aura menantang. Dari sekian jumlah murid di kelas tersebut, tentu mereka punya latar belakang psikologis dan lingkungan masing-masing. Jangankan guru lama, guru baru pastinya menghadapi tantangan yang berlipat untuk mengetahuinya.
Di awal perjumpaan guru dengan murid tersebut, Edwin mulai berusaha mengendalikan kelasnya dengan menunjukkan wajah serius. Teori behavioristik tidak bisa lepas dari stimulus dan respon. Cara Edwin menunjukkan ekspresinya bisa menjadi stimulus awal yang diusahakan Edwin supaya para siswa siap mengikuti materinya. Stimulus Edwin selanjutnya ia lontarkan pada Jefri (Omara Esteghlal) yang tidak mengindahkan kehadirannya. Dengan mengesampingkan hubungan humanistik guru pada murid yang ia belum tahu bagaimana pribadi dan pengalaman Jefri sebagai individu, Edwin memberikan stimulus berupa punishment yang membabi buta lewat asumsinya terhadap kehidupan keluarga Jefri.
Untuk kondisi di mana respon atas stimulus bisa diukur, hukuman bisa saja mengubah perilaku menjadi lebih terkendali. Namun dengan situasi kacau dan semua orang siap berperang, hukuman telak lewat kalimat-kalimat yang menyiksa psikologis seseorang adalah langkah awal merugikan yang berujung pada perlawanan dan pemberontakan.
Edwin sebagai individu memiliki trauma berat tersendiri. Apalagi disini ia adalah korban atas sentimen rasial yang terjadi. Barangkali di benaknya, menghadapi sosok seperti Jefri tidak cukup dengan kesabaran yang bisa membuatnya terinjak-injak lagi. Ia putuskan untuk membawa trauma tersebut untuk menghadapi Jefri dan kelompoknya. Sementara Jefri dengan pengalamannya sendiri dan trauma yang ia pernah hadapi, jangankan guru baru yang coba-coba dan “penasaran” seperti Edwin, guru berpengalaman yang khatam teori milik Pavlov, Thorndike, Watson, Skinner, hingga Maslow pun belum tentu sabar dan telaten menghadapi mereka yang nampak tidak peduli pada reward & punishment. Sikap Edwin dan muridnya yang tidak menemukan titik temu ini membuat situasi semakin runyam.
Sayangnya, mencari bagaimana teori behavioristik dan humanistik ini bekerja di Pengepungan Di Bukit Duri ini tidak lengkap lantaran keterbatasan gambaran kehidupan murid-murid selain di sekolah dan lepas dari kelompoknya, potret lingkungan dan keluarga, serta konflik individu yang terdistraksi dengan adegan-adegan kekerasan yang dominan.
Sementara SMA Duri sebagai institusi seolah tidak banyak berperan. Mereka tidak melakukan cukup screening untuk guru-guru yang mengajar di sana. Barangkali karena murid-muridnya terkenal buangan dan sulit dikendalikan, maka pemilihan guru yang linear secara latar belakang pendidikan pun bukan hal krusial. Sementara peran negara patut dipertanyakan.
Salah satu jawaban yang masih awet entah sampai kapan: berbagai perubahan kabinet dan kebijakan terjadi, tapi gaji guru yang tetap kecil membuat putra-putri terbaik melihat karir di pendidikan dengan apatis, lalu memilih pekerjaan lain dengan penghasilan yang realistis.
Film Pengepungan Di Bukit Duri bisa dinobatkan sebagai film terpenting tahun ini dan bisa kalian saksikan di bioskop mulai hari Kamis, 17 April 2025!

Tinggal di Planet Bekasi!




