Nosferatu yang diarahkan oleh Robert Eggers secara keseluruhan memilih setia dengan sumbernya, baik Nosferatu: A Symphony of Horror (1922) karya F.W. Murnau, maupun novel Dracula karya Bram Stoker (terbit tahun 1897). Adapun sedikit perbedaan yang terjadi tidak memengaruhi inti kisah legendaris ini, seperti tampilan Count Orlok (Bill Skarsgård) dan kostumnya yang – menurut Eggers – terinspirasi dari tentara Transylvania dan kostum Hungaria. Dengan teknologi dan modal yang memadai, Nosferatu versi terbaru ini terlihat sangat serius dalam menyajikan Wisburg era 1800-an, desa adat kuno Carpathians (beserta adat budaya, busana dan bahasanya), dan tentunya kediaman Count Orlok. Beberapa adegan terlihat memesona dengan balutan sinematografi yang indah namun intimidatif.
Kesan kental yang didapat dari kisah sang iblis ini tentu adalah hawa nafsunya yang tidak tertahan pada Ellen Hutter (Lily-Rose Depp) yang ia temukan secara gaib sejak Ellen belia. Kita bisa melihat hasrat Count Orlok yang membabi buta ingin memiliki Ellen dan tega melakukan apa saja, bahkan mengutuk isi dunia. Sayangnya pertemuan pamungkas Orlok dan Ellen tidak ditampilkan dengan cukup detail dan kurang mencerminkan hasrat gila dan tipu dayanya.
Jika ditilik lebih dalam, kita bisa melihat kalau Nosferatu bukan hanya cerita tentang sosok yang tergila-gila. Tapi ada impresi terkait benturan antara tradisi yang enggan disingkirkan dan modernitas yang datang tak dapat dibendung. Selain itu, datangnya Count Orlok ke suatu daerah dengan tujuan untuk menguasai dan menguras terkesan mirip dengan tujuan kolonialisme.
Di satu adegan Orlok menyatakan kebenciannya pada perkembangan yang terjadi di luar daerahnya: manusia-manusia modern dengan gaya hidup dan rutinitasnya. Sampai-sampai keberadaannya pun nyaris sirna ditelan hasrat mencari materi. Ia pun bertekad hadir, membawa petaka agar manusia-manusia itu tidak lupa akan tradisi tunduk padanya. Kita juga bisa melihat perbandingan kehidupan Wisburg yang modern dan hiruk pikuk dengan hadirnya kendaraan-kendaraan, sistem pemerintahan, keamanan, dan ilmu kedokteran. Sementara sebuah desa di Carpathians masih memegang tradisi dengan upacara misterius, persembahan dan kepercayaan mereka pada ‘mitos’. Tak lupa bahasa, lagu, tarian, dan pakaian mereka yang ganjil. Pada dua perbedaan ini – kenyamanan kita dengan hal-hal modern dan rasa aneh melihat tradisi kuno – kita sebagai penonton seolah turut serta ditempatkan pada posisi Thomas Hutter (Nicholas Hoult), seorang agen real estate dengan pikiran terbuka yang dihadapkan dengan berbagai keganjilan dan tidak serta merta menganggap semua yang terjadi di hadapan ada hubungannya dengan setan. Sampai ia bertemu dengan Count Orlok.
Sementara terkait impresi kolonialisme, Count Orlok seolah menjadi perwujudan sebuah negeri yang digdaya. Di tempatnya nan jauh di sana, ia mendapat berita tentang suatu daerah dengan sumber daya penting dan kelak bisa ia kuasai. Maka ia pun memutuskan untuk bertindak. Dimulai dengan tipu daya, menjadi warga ‘legal’ dengan membeli properti di daerah tujuan, lalu dilanjutkan dengan berlayar dan menyiapkan berbagai ‘senjata’ untuk menundukkan. Bahkan ketika orang-orang di wilayah tujuan tidak bisa melawan, ia tetap mengeluarkan senjata tersebut, membinasakan siapa saja demi memuluskan tujuannya menguasai dan menghisap sumber daya sampai tandas. Kisah yang sebetulnya tidak asing dalam hal pendudukan tanah dan wilayah di sepanjang sejarah.
Mengingat berbagai kesan tersebut, Nosferatu tidak lantas menjadi film horor yang hanya bertugas untuk membuat penonton takut dan kaget dengan kehadiran sosok iblis. Tapi juga bisa menjadi catatan penting tentang apa yang tengah terjadi dan disampaikan dengan cara yang artistik.
Nosferatu tayang di bioskop Indonesia mulai Rabu, 5 Februari 2025.

Tinggal di Planet Bekasi!