” JOKO ANWAR’S NIGHTMARES AND DAYDREAMS ” REVIEW

Joko Anwar di tahun 2024 ini kembali membuat kejutan, setelah sukses dengan film Siksa Kubur yang menembus 4 juta penonton, tahun ini kembali menggebrak dengan meluncurkan serial fiksi ilmiah yang berjudul Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams, yang dirilis secara eksklusif di Netflix. Joko Anwar juga berperan sebagai produser eksekutif untuk Nightmares and Daydreams. Selain itu ia juga berperan sebagai sutradara serta penulis naskah untuk beberapa episode di serial ini, yang juga dibintangi oleh banyak main hingga supporting cast ternama.

Sebelum menonton Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams ada baiknya kalian melihat terlebih dahulu timeline dari masing-masing tiap episodenya, agar kalian bisa menentukan urutan menonton episodenya, tetapi semua dikembalikan kepada pilihan masing-masing. Kalian bisa menikmati tontonan ini dengan mengikuti urutan episode atau mengikuti timeline, dan bisa juga kalian tonton episodenya secara acak. Karena semua episode berdiri sendiri dan mempunyai keunikannya masing-masing.

JOKO ANWAR’S NIGHTMARES AND DAYDREAMS TIMELINE

Source: NetflixID


AND HERE’S THE REVIEW…

Episode 1: The Old House

(Director: Joko Anwar; Cast: Ario Bayu, Yati Surachman, Faradina Mufri, Sal Priadi, Putri Ayudya, Ine Febriyanti, Kevin Ardilova, Ruth Marini)

Episode pertama berjudul “The Old House” menceritakan seorang supir taksi bernama Panji (Ario Bayu) yang ingin “menitipkan” ibunya, Ranti (Yati Surachman) ke panti jompo yang ternyata melakukan kegiatan okultisme didalamnya. Episode ini menyisipkan bumbu-bumbu miris sekaligus tragis di tengah pergulatan moral di kehidupan nyata.

Menurut penulis episode ‘The Old House” adalah yang paling kurang favorit dibanding episode-episode lainnya. Episode pembuka ini dimulai dengan awal yang menjanjikan dengan membahas berbagai permasalahan dari keluarga, jenjang sosial, hingga ekonomi. Namun ketika misterinya mulai dimunculkan satu persatu hingga menuju babak akhir malah justru semakin menurun potensi menuju klimaksnya.

Tidak hanya itu, penonton juga ditinggalkan dengan berbagai pertanyaan menggantung tanpa penjelasan. Selain itu secara teknis efek visual yang ditampilkan terlihat kasar juga menjadi salah satu kekurangan di episode ini, tapi masih bisa dimaklumi karena tingkat kesulitan dalam membuat “creature” dengan bentuk mengerikan dan ukuran yang masif.

Episode 2: The Orphan

(Director: Tommy Dewo; Cast: Yoga Pratama, Nirina Zubir, Faqih Alaydrus)

Pesugihan merupakan salah satu topik yang sering diangkat dalam film dan serial horor Indonesia. Ia adalah sebuah proses yang dilakukan oleh orang-orang yang ngebet kaya dan lelah hidup melarat. Proses tersebut menuntut manusia yang menjalaninya untuk melakukan dan memberikan hal-hal berat. Toh ujung-ujungnya ia harus bekerja, meski kali ini lewat jalur yang dipilih oleh sekutunya, setan atau iblis. Manusia tersebut bisa menjadi pelaku langsung, misalnya berubah menjadi babi ngepet ketika cari uang, atau menyuruh makhluk tertentu yang bekerja untuknya, mempekerjakan tuyul, contohnya. Setelah mendapat hasil, ia pun harus membayar seharga nyawa seseorang juga. Yang terdekat dan terkasih.

Berpuluh-puluh tahun pesugihan digambarkan sebagai cerita yang menyeramkan yang ditonton oleh rakyat Indonesia. Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams menginterpretasikan ulang kisah tersebut dengan lebih manusiawi di episode 2 yang berjudul The Orphan, disutradarai oleh Tommy Dewo dan ditulis oleh Rafki Hidayat. Tidak ada binatang jejadian, makhluk bertanduk, bahkan sosok kecil botak dalam episode ini. Hanya ada sepasang suami istri pemulung dan anak sebatang kara.

Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams menghadirkan karakter-karakter kepepet dengan permasalahannya masing-masing. Setelah episode 1 kita menyaksikan seseorang yang tersudut kala posisinya sebagai sandwich generation, di episode 2 – tidak lain dan tidak bukan – mentok karena urusan keuangan. Apalagi mereka terlilit hutang yang dimana berada dalam posisi mereka berarti nyawa taruhannya dan belum lagi longsor gunung sampah yang bisa terjadi kapan saja. Maka Iyos (Yoga Pratama) dan Ipah (Nirina Zubir) pun memutuskan untuk mengurus seorang anak yatim yang mereka yakini sebagai anak setan. Anak yang mereka anggap bisa membebaskan mereka dari ancaman penasihat hutang. Anak yang akan menjadikan mereka kaya raya. Rupanya kemiskinan menahun begitu menakutkan sampai-sampai mengadopsi anak setan pun biasa saja buat mereka, tapi guna menghindari ancaman kematian setelah tujuh hari, Syafin – anak ini – harus dibunuh sebelum ia mengambil nyawa Iyos dan Ipah.

Hari pertama, kedua, seterusnya berganti. Dengan menyenangkan Syafin, mereka tiba-tiba mendapatkan rejeki nomplok. Lalu ketika datang hari ketujuh?

Disinilah dilema bekerja. Apalagi Iyos dan Ipah belum lama kehilangan anak. Ipah menemukan kembali haknya sebagai ibu ketika merawat Syafin.

Sebagai orang yang pernah melihat tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang, latar on location yang ditampilkan dengan detail dalam episode ini patut diapresiasi. Kendaraan-kendaraan keruk menaiki gunung sampah, truk yang lalu lalang, tenda sederhana untuk tempat beristirahat para pemulung, rumah non-permanen yang dialiri air hujan dan bisa roboh kapan saja. Visual dan sound yang disajikan bahkan bisa merangsang sensor indera lainnya, seperti penciuman dan perasa terkait atmosfer lokasi yang kita saksikan.

Seberapa deras pun arus modernitas, hal-hal mistis sudah merasuk dalam diri kebanyakan orang Asia, terutama – dalam hal ini – Indonesia. Episode 2 ini menyatukan unsur tersebut dalam keseharian sepasang pemulung yang digambarkan realistis, yang tujuan hidupnya berusaha untuk mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik dan kasih sayang yang bisa dibagi.

Episode 3: Poems and Pains

(Director: Randolph Zaini; Cast: Marissa Anita, Restu Sinaga, Haydar Salishz)

Enggak ada ide, enggak ada cerita. Mentok. Derita yang besar buat seorang penulis. Apalagi rata-rata penulis cuma dapat royalti 10% dari penjualan bukunya. Enggak cukup sampai disitu, Pasal 26 Ayat 1 UU PPh menyatakan pajak royalti penulis adalah 20% dari bruto. Kalau buku terjual ribuan, puluhan ribu eksemplar tentu royalti sedikit itu bisa membantu penulis untuk menutupi kebutuhannya, termasuk mencukupi cicilan bulanan. Tapi volume kreativitas siapa yang tahu? Karya yang meledak kali ini belum bisa menjamin nasib karya selanjutnya. Makanya banyak penulis main aman. Berani bereksperimen belum tentu bisa melunasi cicilan. Seperti yang bisa kita saksikan pada Rania (Marissa Anita), seorang penulis yang mencoba mengeksplorasi kreativitasnya sebagai penulis.

Rania adalah karakter kepepet lainnya dalam semesta Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams. Ia ingin beralih dari novel populer menuju karya sastra yang serius. Tapi ternyata eksperimennya itu tidak mampu mengikuti keberhasilan karya best seller-nya terdahulu. Sementara cicilannya menagih tiap bulan. Sahabatnya yang seorang penerbit (yang tentu mendapat jauh lebih banyak dari 10%) memberikan Rania perlakuan istimewa, sambil membujuk Rania membuat sekuel atas kisah rumah tangga abusive yang sukses itu. Dengan segala trauma dari proses kepenulisan kisah si tokoh utama, ditambah tagihan yang mengkhawatirkan, akhirnya ia mengiyakan. Tapi saggupkah ia menanggung derita fiksi menjadi sengsara yang nyata?

Tidak seperti dua episode sebelumnya, ataupun dua episode setelahnya, di episode 3 ini Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams tidak menempatkan karakter-karakter akar rumput dengan kesulitan ekonomi dalam ceritanya yang ganjil. Tapi menampilkan tokoh dari strata yang lain dengan kesulitan ekonominya sendiri. Rania adalah generasi yang berjuang mencari uang untuk melunasi lilitan KPR. Sebagaimana banyak netizen ketahui, harga properti saat ini sangat tinggi. Lalu ada kekhawatiran Millenial Generation Homeless, sehingga banyak anak muda memilih tipe tempat tinggal lain agar tidak terjebak seperti Rania.

Selain itu, episode ini juga mengangkat isu tentang kekerasan dalam rumah tangga, kasus dengan presentase yang masih tinggi di negeri ini. Korban seringkali tidak bisa keluar dari lingkaran kekerasan karena daya kekangnya sangat kuat. Sehingga ia butuh bantuan orang lain untuk membebaskannya sebelum semuanya terlambat. Rania menyaksikan dan merasakan remuk lebam kekerasan tersebut. Ia berusaha menolong korban dengan membahayakan nyawanya. Tapi ternyata rahasia besar menantinya di balik ruang rahasia yang ada di imajinasi dan kehidupan nyata.

Episode 4: The Encounter

(Director: Ray Farandy Pakpahan; Cast: Lukman Sardi, Ersa Mayori, Teuku Rifnu)

Berlatar tahun 1985, episode ke 4 dalam series Joko Anwar’s Nightmares & Daydreams ini kembali mengambil segmentasi karakter-karakter yang hidup di bawah garis kemiskinan seperti di eps 1&2, tepatnya wilayah para nelayan kerang di Jakarta Utara (tapi bukan Priok).

Apakah ini petunjuk? Sudah 4 episode, karakter-karakter di 3 episode miskin semua, ditambah lagi sebelum seriesnya rilis Joko banyak ngetwit soal ketimpangan sosial ekonomi antara masyarakat miskin dan kaya, ketidakadilan pemerintah berkuasa, termasuk banyak berkomentar soal isu Tapera, Politik Dinasti, dll. Jika mau dikaitkan dengan Nightmares & Daydreams, khususnya di episode 4 berjudul The Encounter ini, kami rasa makin terang benderang apa yang ingin Joko sampaikan sebenarnya adalah PERLAWANAN.

Yang Menerima Belum Tentu Layak Di Mata Manusia

Alkisah di sebuah pantai Utara Jakarta yang kumuh, hidup sepasang suami istri Wahyu (Lukman Sardi), nelayan kerang miskin yang lemah, submisif dan pendiam meski punya istri yang terhitung manis, Dijah (Ersa Mayori), karyawati pabrik yang baru menang undian kamera polaroid dari hadiah HUT pabriknya. Meskipun miskin, tetapi Wahyu memiliki tabungan sebanyak 6 juta rupiah yang ia tabung demi menemukan ibunya yang bekerja di Arab Saudi sejak Wahyu berusia 7 tahun.

Meski dongkol, namun Dijah berusaha sabar mendukung suaminya yang hanya ingin mendapatkan jawaban “Kenapa Ibu meninggalkan Wahyu dan tak pernah kembali?”. Di sebuah malam sambil menenteng kamera baru, Wahyu yang mau melaut ternyata mendapatkan anugerah melihat sosok malaikat putih yang sempat ia abadikan dengan kamera. Penduduk kampung pun heboh, Wahyu dipercaya sebagai sosok terpilih, jawaban dari kesusahan warga yang hendak digusur oleh para penguasa jahat.

Namun Wahyu tidak merasa seperti itu, ia sendiri ragu apakah yang ia lihat benar malaikat, meski fotonya ditawar wartawan dengan harga mahal. Sikap submisif, introvert dan pemalunya membuatnya tak bisa diandalkan sama sekali oleh istrinya, oleh sahabat dan oleh warga kampung. Hingga akhirnya penggusuran tak terelakkan lagi dan Wahyu pun harus mengambil sikap!

Agama Adalah Jawaban Buat Segalanya

Penulis pribadi pernah berkunjung ke pemukiman nelayan kerang di wilayah Cilincing, Jakarta Utara dalam rangka penyuluhan kesehatan anak-anak circa 2002 lalu. Gambaran yang ditampilkan Joko Anwar dan timnya kami rasa sangat akurat dengan menghilangkan gawai, menghilangkan bangunan-bangunan besar, tanah pantai penuh kulit kerang yang berbunyi berisik benar-benar melengkapi ingatan penulis akan kehidupan di sana.

Penulis merasa beresonansi dengan karakter para nelayan kerang, apalagi di tahun 1985, hidup di masa orde baru yang dipimpin ‘Bapak Pembangunan’, tapi banyak membangun dengan korban di dasar bangunannya. Ancaman itu ada dan sedang bersemilir antar telinga para nelayan, tapi mereka sibuk dengan kemiskinannya yang dihibur gelaran layar tancap malam mingguan.

Wahyu sendiri terlalu nyaman dengan cita-citanya, bahkan mengabaikan keinginan sang istri. Ketika ancaman di desa semakin meruncing barulah teman-teman ingat pada spiritualisme, pada agama, seperti halnya makam keramat di Priok, selembar foto malaikat milik Wahyu bisa menjadikan kampungnya keramat dan tidak jadi digusur. Wahyu pun disemat jadi penyelamat. The Chosen One!

Episode 4 ini tidak kompleks, bahkan paling simpel dalam bercerita, tetapi isinya “daging” semua mengupas berbagai permasalahan (meski beberapa kulitnya saja), soal penangananan TKI yang tidak jelas, soal anak yang ditinggal orang tua, soal hubungan suami istri yang tidak imbang, soal kehidupan marjinal yang miskin dan keras, soal perselingkuhan, soal agama dan spiritualisme, dll. Pentingnya memahami sosio kultur tahun tersebut, ditambah karakter-karakter manusia yang ada akan menjadikan penonton lebih beresonansi dengan berbagai tindakan yang diambil oleh para karakternya.

Kenapa Dijah begini? kenapa Wahyu begitu? Kenapa Bandot segitu yakinnya? Kenapa seseorang yang tidak belajar agama bisa dipanggil Ustad? Kenapa Rusman (Teuku Rifnu) bisa begini? lalu begitu? Semua karakter beralasan kuat mengambil jalan yang mereka pilih dengan tempaan tekanan yang terjadi sepanjang 57 menit durasinya.

The Best of The Seven

Dalam Joko Anwar’s Nightmare & Daydreams Episode 4 ini sutradara Ray Pakpahan dengan baik menerjemahkan naskah Joko Anwar dengan konsistensi yang terjaga dalam delivery dialog khas Jokan banget, lucu, menyentil dengan dry comedy sesuai takaran. Ray demikian apik mengatur ritme dengan dukungan baik editing Dinda Amanda dan Jokan. Sebuah montase saat Wahyu dikurung kawan-kawannya dalam rumah adalah sekuens yang apik.

Menarik juga dalam episode ini adalah momen-momen ‘krusial’ Wahyu ditampilkan dalam intensitas baik dan bereskalasi sampai akhirnya terbuka di klimaks yang memberi jawaban untuk episode-episode mendatang. Dan jawaban untuk episode ini adalah pentingnya SIMBOL PERLAWANAN. Tidak terlalu fresh memang, mungkin karena tidak jadi dilanjutkan di trilogi Dead Time, akhirnya diwujudkan Joko di series ini. Anyway, LAWANNNN!!!!

Episode 5: The Other Side

(Director: Randolph Zaini; Cast: Kiki Narendra, Sita Nursanti, Rukman Rosadi, Sulthan Hamonangan, Muzzaki Ramdhan)

Orang-orang yang tumbuh dan merasakan hidup di tahun 1997 pasti mengenal apa yang namanya krisis moneter. Krisis di Asia Tenggara dan Asia Timur yang tersulut dari sumber-sumber saling terkait, dari krisis sosial-politik, gelembung uang panas, kenaikan suku bunga Amerika Serikat, terhambatnya pertumbuhan ekspor, hingga peran International Monetary Fund (IMF). Krisis ini mengguncang tatanan ekonomi yang membuat banyak perusahaan melakukan PHK, gulung tikar, bank-bank bangkrut, hingga orang-orang banyak orang menjadi pengangguran, sementara harga sembako melonjak.

Tahun 1997 juga menjadi tahun politik penuh ketegangan, dimana untuk mempertahankan kekuasaan berpuluh tahun, bermacam cara dilakukan, kerusuhan dan kekerasan politik pun terjadi di banyak titik di seluruh negeri. Gedung-gedung dirusak, toko-toko dibakar, Kendaraan-kendaraan hancur, dan nyawa-nyawa melayang.

Salah satu gedung yang dirusak itu adalah bioskop. Peristiwa ini membuat para pekerjanya kehilangan mata pencaharian, setidaknya – katanya – sementara. Seperti yang terjadi dalam semesta Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams Episode 5 yang disutradarai Randolph Zaini dan naskah ditulis oleh Joko Anwar. Melalui masa sulit ini, kita bertemu Bandi (Kiki Narendra), pelukis poster bioskop dan penyobek tiket yang terpaksa menganggur lantaran bioskopnya tutup. Sambil melukis poster yang entah kapan dipasang di depan gedung, ia mengenang masa-masa bertemu dengan istrinya, Dewi (Sita Nursanti). Kisah romantis dewasa pun terjadi di episode ini. Momen manis-perih yang mereka pahami bersama tiba-tiba diinterupsi dengan kehadiran beberapa bandit yang merusak poster yang dibuat Bandi. Hutang yang makin menganga membuat situasi semakin pelik.

Dengan uang pas-pasan, Bandi pergi membeli obat untuk istrinya (mungkin untuk mengobati penyakit yang dianggap aneh, yang nantinya berhubungan dengan kemampuan spesial Dewi). Setelahnya ia mampir ke gedung bioskop tempat ia bekerja dulu. Ia masuk dan menemukan kondisi bioskop yang bertolak belakang dari kondisi rusak di bagian luarnya. Tak lama ia berada disana. Namun ternyata rentang waktu yang ia alami di dalam sana memiliki jarak dengan kehidupan di dunianya. Ia kembali pada Dewi setelah keluarganya bingung mencari selama dua tahun.

Setelah itu, karena kekerasan yang terjadi di depan mata (dan memang mudah sekali timbul, bahkan jika disebabkan oleh hal sepele), Bandi kembali terjebak di dalam bioskop. Lima tahun berlalu begitu saja. Kondisi keluarganya pun berubah. Yang menarik dari bagian ini adalah adanya permainan sudut pandang yang membuat kita sebagai penonton tidak terjebak hanya dalam hal mistis. Kondisi Bandi yang ia rasakan sendiri berbeda dengan kondisi yang dilihat oleh orang-orang di sekitarnya: penampilannya, baunya, apa yang dilakukan Bandi. Ini seolah menggambarkan kondisi psikis Bandi sebagai ‘korban’ dan fisik yang dilihat oleh saksi, terutama istrinya.

Namun cinta Dewi ternyata tidak begitu saja luntur. Ia mencoba menyelamatkan Bandi. Ia susuri keberadaannya. Hingga ia menemukan keganjilan yang membuka kemampuannya.

Episode 6: Hypnotized

(Director: Ray Farandy Pakpahan; Cast: Fahri Albar, Sita Nursanti, Poppy Sovia, Daood Salem, Nafiza Fatia, Lembu Jati)

Memasuki episode-episode akhir serial Joko Anwar’s Nightmares & Daydreams kisahnya makin mengerucut pada Agartha dan para penduduknya yang diam-diam hidup di bumi dengan tujuan misterius. Baik atau buruk? Yang jelas kita sudah bersinggungan dengan mereka sejak episode 1 di Panti Jompo (The Old House), sampai Dewi (Sita Nursanti) dan makhluk yang ia lawan di ujung episode 5. Apakah kita akan bertemu penduduk Agartha lagi di episode 6?

The Power of Mind

Episode 6 yang berlatar di Jakarta tahun 2022 kembali berpusat pada keluarga miskin yang dipimpin Ali (Fahri Albar), teknisi televisi dan listrik yang terhambat memiliki pekerjaan karena buta warna. Bersama istri (Poppy Sovia) dan kedua anaknya Hendra (Daood Saleem) dan Ayu (Nafiza Fatia) mereka hidup sederhana.

Hingga tekanan ekonomi membuat Ali tergiur ajakan tetangganya Iwan (Lembu Jati) untuk melakukan kejahatan dengan modus hipnotis. Ali pun terpaksa setuju dan mencoba melakukan kejahatan perdananya di sebuah ATM.

The Power of Will

Kembali disutradarai Ray Farandy Pakpahan yang sukses mengarahkan episode 4, episode 6 bertajuk Hypnotized kali ini cenderung lebih kompleks dengan memadukan adegan realis dengan surealisme saat karakternya berada dalam kondisi sedang dihipnotis. Technically, scene dunia hipnotis yang digambarkan di film ini memang tidak terlalu istimewa, hanya berbentuk jam gadang besar dimana Ali tergantung di jarum jam, ditambah efek kabut yang tebal untuk menambah kesan misterius.

Sekali lagi kekuatan naskah (terutama dialog) Joko Anwar berperan besar dalam film ini membuat tone film terasa membumi dengan segmentasi karakter masyarakat menengah miskin. Pengkarakteran juga jadi keunggulan di film dimana karakter Ali dengan kebimbangannya jadi kunci yang bikin penonton gemas.

Penonton pun makin gemas karena ternyata pengaruh kejahatan yang Ali lakukan mempengaruhi karakter anggota keluarga Ali. Iwan tak lagi bisa membantu, karena ternyata hipnotis yang Ali lakukan membuatnya mengalami konsekuensi pahit dan mengerikan.

Sedikit memiliki ‘pesan moral’ episode ini memberikan kesan kejahatan itu akan selalu mengikuti dan menular pada lingkungan sekitarmu. Seperti Iwan yang menulari Ali bertindak jahat, keluarga Ali pun demikian. Sejak uang hasil kejahatan Ali berikan ke istri dan anak-anaknya, seketika itu pula kejahatan menular dan diwajarkan.

You Are in Control, Find Yourself

Sebagai episode terakhir menuju pamungkas, jalannya plot episode 6 mungkin tidak terlalu memberikan penjelasan di luar dari journey yang Ali hadapi adalah sama seperti journey yang dilalui oleh Panji, Wahyu, Rania, dan Dewi dari episode-episode sebelumnya. Siapakah mereka dan apakah kaitannya dengan Agartha? Apakah Ali bisa menyelesaikan journey-nya?

Jawabnya ada di ujung episode yang sekali lagi menguatkan asumsi kami soal benang merah series ini, yaitu PERLAWANAN!

Episode 7: P.O. BOX

(Director: Joko Anwar; Cast: Asmara Abigail, Putra Dinata, Niken Anjani, Lukman Sardi, Ario Bayu, Sita Nursanti, Fahri Albar, Marissa Anita, Ayu Laksmi)

Akhirnya episode pamungkas Joko Anwar’s Nightmares And Daydreams menjawab segalanya. Setelah mengurutkan secara acak tanpa berdasarkan tahun latar, episode 7 jadi episode penutup yang sesuai dengan timeline dengan menjadikan tahun 2024 latar tahun ceritanya.

Ditangani oleh Joko yang menulis naskahnya bersama Rafki Hidayat, episode bertajuk P.O. BOX ini tidak terburu-buru menutup series ini dan memanfaatkan durasi 52 menitnya dengan sebuah kisah misteri investigatif yang seru.

Five Years is a Long Time, Baby

Seorang penaksir berlian, Valdya (Asmara Abigail) hendak menikah dengan pacarnya Rendy (Putra Dinata), namun bayang-bayang kasus hilangnya sang kakak, Dara (Niken Anjani) 5 tahun lalu masih menghantui. Apalagi Rendy, calon suami Valdya adalah mantan pacar dari sang kakak.

Rasa bersalah, tidak enak dan penasaran akan hilangnya Dara serta sebuah flashdisk yang Valdya temukan membuatnya nekat untuk menyelidiki lagi. Bukan untuk menemukan Dara, tetapi mendamaikan jiwa Valdya. Penyelidikan Valdya pun bermuara pada sebuah lowongan pekerjaan yang Dara lamar sehari sebelum menghilang, dengan alamat P.O. BOX 888. Satu hari, lowongan kembali dibuka, dan Valdya pun melamar dan dipanggil untuk interview.

Anything For A Sister

Joko Anwar menaruh salah satu muse-nya Asmara Abigail dalam sebuah peran yang cukup berat dalam sosok Valdya, dan sepanjang 52 menit, Asmara memberikan penampilan terbaik yang pernah penulis lihat selama kariernya. Valdya di tangannya bisa dingin dan profesional saat bekerja, manja saat bersama Rendy dan rapuh saat bersama Dara.

Di kesendiriannya karakter Valdya jadi sosok yang bertekad kuat. Ia tepiskan segala bahaya, ia acuhkan larangan Rendy, semua demi Dara, dan demi Valdya juga. Ia harus mengetahui apa yang terjadi pada Dara. Valdya melawan!

Bagi penulis, episode 7 menjadi episode paling lucu bersama episode 3 & 4, Valdya dengan cerdik menyelidiki kotak surat PO BOX 888 dengan bantuan petugas kotak surat yang ramah, adegan investigasi jadi terasa santai dan jenaka. Saat Valdya berkumpul dengan para kandidat peserta wawancara di dalam lift pun tidak kalah lucunya. Dialog-dialog nakal, witty bergaya humor kering dilontarkan 7 orang dengan macam-macam skill di dalam lift.

Tanpa disangka dan diduga, kejenakaan itu membuka sebuah gerbang untuk WTF moment yang tidak akan diduga sebelumnya. Tanpa clue, tanpa aba-aba, sebuah kejutan selevel dinner scene di Pintu Terlarang muncul di klimaks yang memberi jawaban akan tujuan para penduduk Agartha rela naik dan tinggal di bumi.

Banyak orang bilang Jokan kerap memberi jawaban pada penontonnya dengan adegan yang kelewat menjelaskan di film-filmnya terdahulu. Ya, di series ini juga, tetapi kami rasa penjelasan yang dilakukan sambil melakukan adegan ‘makan’ ini terasa lebih impactful memberi penekanan akan baik dan buruknya para Agarthan yang sudah saatnya ditunjukan tanpa ada grey area lagi.

Dan ujung episodenya! WOW…. Sebagai penggemar Kala dan pengapresiasi usaha Joko dalam membangun BCU, kami rasa apa yang disajikan Joko di akhir film seakan menyalurkan obsesi terpendamnya akan “Ramalan Jayabaya” atau team-up jagoan semodel “Avengers” untuk melakukan PERLAWANAN terhadap penguasa zalim dan dinastinya, serta sistem yang berkuasa!

So, Let’s Kick Their Asses!!!

Jadi dari tujuh episode Joko Anwar’s Nightmares And Daydreams, mana yang menjadi episode favorit kalian?

Joko Anwar’s Nightmares And Daydreams bisa ditonton secara streaming di NETFLIX.

Share